Jauh sebelum jasa ojek online merebak, stigma tukang ojek atau pengemudi sepeda motor yang menawarkan jasa mengantar orang dari satu tempat ke tempat lain, tidak begitu baik. Tukang ojek dipandang sebagai pekerjaan tak terhormat, sama rendahnya dengan tukang becak atau kuli bangunan.
Tukang ojek acapkali tersisih dalam mendapatkan apresiasi atas jasa yang mereka berikan kepada masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Tapi, sekarang lain cerita, para tukang ojek online justru menjadi idola kelas menengah. Dukungan mengalir tanpa ragu dan malu dari pekerja, mahasiswa, dan kelompok kelas menengah lain, sampai pemerintah tak berkutik melarangnya. Kelas menengah gitu lho?
Mereka tak hanya getol memanfaatkan layanan ojek online, tapi malah ikut ikutan jadi driver atau bahkan mendirikan sendiri usaha sejenis. Tentunya ala-ala mereka sendiri. Dengan cara dan sistem operasi juga ala mereka.
Nah, di Malang, usaha ojek online yang dirintis banyak mahasiswa aktif di beberapa perguruan tinggi mulai mendapat tempat yang spesial di hati masyarakat, khususnya warga Malang dan sebagian besar kelompok mahasiswa yang menempuh studi di Kota Apel yang akrab dengan hawa dingin ini.
Saya adalah satu dari sekian banyak mahasiswa yang kemudian terlibat secara aktif menjadi tukang ojek online. Dibandingkan dengan banyaknya stereotipe yang buruk soal kinerja ojek online dan pelayanannya yang dikritik slow response, saya justru beranggapan sebaliknya. Ojek online menawarkan cara yang tangkas dan sat-set dalam menawarkan jasa pengantaran.
Sistem pelayanan itu pun berkembang pesat dan tidak terbatas dengan hanya melayani pengantaran orang, namun juga membantu membeli dan mengantarkan makanan, membelikan tiket bioskop, mencetak tiket di stasiun, hingga menjemput di bandara.
Dengan terlibat menjadi tukang ojek online secara aktif, saya justru menemukan banyak sumber kebahagiaan yang selama ini – ajaibnya – belum pernah saya rasakan selama hampir enam tahun tinggal di Malang. Berikut beberapa contohnya:
1. Sarjana Itu Fana, Uang yang Abadi
Ini tidak disarankan, tapi kalau kalian mau mencoba, ya silakan. Setidaknya, cara ini membantu pembaca untuk sadar bahwa semua jenjang pendidikan yang kita tempuh sejak kecil sampai usia awal 20-an, ujung-ujungnya semua bermuara pada satu sumber. Uang.
Ijazah diperlukan untuk mencari kerja, mendapat pekerjaan yang mantap, jabatan yang paten, dan gaji yang aduhai amboi betul nikmatnya. Tapi, bagaimana kalau ada lapangan pekerjaan yang mempersetankan apapun jenjang pendidikanmu, mengacuhkan apapun asal fakultas dan jurusanmu, namun mampu menghasilkan uang yang setara pegawai dengan upah minimum?
Maka, kawanku, inilah nikmat pertama menjadi tukang ojek online. Kecanggihan aplikasi media sosial dibantu dengan tingginya kebutuhan hidup bergegas kaum urban, kita diberi sumber uang yang memadai untuk dikeruk. Salah satunya, ya dengan menjadi tukang ojek online.
Dibanding dengan aplikasi yang harus diunduh melalui playstore dan membutuhkan akun untuk login, ojek online ala mahasiswa ini justru menawarkan kepraktisan dengan sistem order melalui aplikasi pengirim pesan instan gratis.
Sekadar trivia, dari tujuh hari awal saya menjadi tukang ojek online ala mahasiswa, penghasilan kotor yang saya dapat – sebelum setoran – menyentuh angka satu juta rupiah. Serius. Maka dari itu, sudah ku bilang dari awal, “Sarjana itu fana, uang yang abadi.”
2. Bertemu Dedek-dedek Mahasiswi
Dari sekitar 12 ribu mahasiswa baru yang diterima di Universitas Brawijaya (UB) semester ini, saya berani jamin 30%-40% di antaranya adalah sekumpulan bidadari kahyangan yang sialnya kepeleset dan jatuh ke bumi, lalu apesnya kuliah di Malang.
Bagi para pria seperti Alief Maulana yang terlalu lama menjadi tuna asmara dan akrab berbicara dengan tembok kamar, lalu rutin membayangkan guling di kasur sebagai kekasih hati, pekerjaan ojek online menawarkan sensasi baru. Bertemu mahasiswi cantik yang saking amboi dan semlohay-nya, kita bahkan mempersetankan kalau dia tipe penumpang yang ngaret, rewel, dan gemar komplain.
Apalagi, sistem pemesanan ojek online ini wajib hukumnya menyantumkan nama lengkap, alamat kosan, ID aplikasi pengirim pesan, dan yang paling penting: nomor telepon dan status hubungan. Sampai di sini, kalian pria-pria tuna asmara yang sering ditolak waktu mengajak kenalan cewek cantik paham maksud saya tidak?
3. Menjadi Pacar Sewaan
Saya tahu dan paham bahwa cinta itu buta, tapi tolonglah mau sampai kapan percaya bahwa cinta itu mutlak dari hati? Manusia, terlebih wanita modern dari generasi milenial, lebih percaya yang bisa dilihat mata dibanding apa yang dilihat hati.
Ini kisah nyata. Suatu waktu, ada seorang mahasiswi UB jurusan pendidikan bahasa Inggris, yang kebetulan menjadi langganan ojek tiap pagi selama satu setengah bulan ke depan. Gadis dari Jakarta, tengah menempuh tahun keempat kuliahnya dan sedang melaksanakan kegiatan praktik kerja nyata di sebuah SMK swasta di pinggiran kota Malang.
Suatu pagi, ia bilang, “Kak, besok nganternya jangan pakai celana boxer dong, bisa?” Membaca pesan ini, sontak saya terkesiap, lalu enteng saja kutanya kenapa, dan kurang lebih ia menjawab dengan singkat dan tanpa basa-basi, “Biar nanti kalau nurunin aku di depan sekolah, gak dikira tukang ojek tapi gebetan.” Eeaaa…
Skenario di atas bisa terjadi dengan dua syarat. Pertama, usahakan wajahmu enak dilihat dan lihai membual. Ini penting karena, ingat pepatah lama bahwa cinta itu turun dari mata ke hati. Lagipula, wanita mana sih yang gak betah diojekin sama lelaki yang bisa menceritakan deret puisi Derrida, kumpulan cerita pendek Hemingway sampai sajak misterius milik Gibran?
Syarat kedua, pakai parfum. Ini serius. Kamu boleh kurang tampan atau tak piawai membual, tapi usahakan jangan bau. Saya mengalami sendiri rasanya dibonceng tukang ojek pangkalan di stasiun kota Malang yang bau badannya hampir mirip dengan aroma bangkai tikus yang sudah tewas selama dua hari di loteng rumah.
CATATAN: Untuk nikmat yang satu ini, kalau wajah kalian pas-pasan, sebaiknya jangan berharap lebih. Setidaknya punya wajah mirip saya.
4. Travelling
Ini poin penting dan wajib dituliskan. Selama enam tahun lebih kuliah di Malang, saya pikir saya sudah mengenal kota berhawa sejuk ini. Menjadi tukang ojek online membuat saya sadar bahwa ternyata pandangan itu salah. Saya masih keheranan dengan daerah Bandulan atau terpana dengan beberapa wilayah di kabupaten, yang sialnya jarang sekali saya kunjungi.
Karena memang benar apa kata orang bahwa to travel is to nggumun. Dan berwisata, tidak harus ke pantai atau luar kota bahkan luar negeri. Kenali kota terdekat, kupas sampai lapisan terakhirnya dan kamu akan tahu bahwa hidup itu memang indah.
Satu lagi saran terakhir, sebelum kamu tergoda dengan isi tulisan ini dan berminat banting setir dari mahasiswa menjadi tukang ojek, sebaiknya sempatkan beli buku lawas milik Seno Gumira Ajidarma berjudul “Tak Ada Ojek di Paris” yang mengupas tentang kehidupan masyarakat urban dan segala dinamikanya.
Mengantongi buku tersebut di tas selempang dan membacanya di kala senggang sembari naik motor ke sana ke mari menyusuri jalanan, membuat kalian sadar bahwa yang paling penting dari hidup ini cuma satu: jangan lupa bahagia…
http://voxpop.id/